Kamis, 05 Juli 2012
BEBERAPA CABANG ILMU LINGUISTIK
BEBERAPA CABANG ILMU LINGUISTIK
Tulisan ini akan menguraikan cabang ilmu linguistik secara garis besar, yang meliputi fonetik dan fonologi, morfologi sintaksis dan semantik. Disamping itu juga dibahas ilmu inter disipliner dari linguistik ini.
A. Bidang-bidang Linguistik
Memang setiap ilmu pengetahuan meliputi bahan yang luas sekali, dan demi alasan praktis para ahli suka membagi ilmunya menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang ilmunya.
Demikian pula ilmu linguistik lazimnya dibagi menjadi bidang bawahan yang bermacam-macam. Misalnya saja, ada linguistik antropologis, yang cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan oleh para ahli antropologi budaya; ada juga linguistik sosialogis, atau (lebih lazim) sosiolinguistik, untuk meneliti bagaimanakah dalam bahasa itu dicerminkan hal-hal sosial dalam golongan penutur tertentu. Dewasa ini semakin berkembanglah apa yang disebut lingistik komputasional, yaitu penelitian linguisti dengan bantuan komputer.
Akan tetapi, bidang-bidang bawahan tadi semuanya mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasarinya. Bidang yang mendasari itu adalah bidang yang menyangkut struktru-struktur dasar tertentu, yaitu: struktur bunyi bahasa, yang bidangnya disebut “fonetik” dan “fonologi”; struktur kata, yang namanya “morfologi”; struktur antar-kata (sintaksis): dan keduanya dibedakan dengan “leksikon” atau perbendaharaan kata. Penelitian “leksikon” itu disebut “leksikologi”.
Di antara bidang-bidang “dasariah” tadi dibedakan juga antara linguistik “sinkronik” dan lingistik “diakronik”. Misalnya, penelitian singkronik tentang bahasa Indonesia menangani kaidah bahasa Indonesia pada zaman sekarang. Sebaliknya, penelitian diakronik (atau “historis”) memaparkan tentang “sejarah” bahasa. Sebagai contoh perhatikanlah bentuk pun dalan bahasa Indonesia. Bentuk tersebut memenuhi fungsi-fungsi tertentu dalam bahasa Indonesia modern, dan penelitian terhadap fungsi tersebut adalah peneltian “Singkronik”. Sebaliknya, dalam bahsa Melau Klasik, bentuk kecil (atau “Partikel”) pun yang “sama” agak lain fungsinya, seperti dapat dibuktikan oleh penelitian “diakronik”
Hanya cabang-cabang lingistik yang “dasariah” itulah yang dibahas dalam buku ini.
B. Fonetik dan Fonologi
Tuturan bahasa terdiri atas bunyi yang agak berbeda-beda menurut bahasa tertentu. Bunyi tersebut diselidiki oleh fonetik dan fonologi. Fonetik meneliti bunyi bahsa menurut cara pelafalannya, dan menurut sifa-sifat akustiknya. Berbeda dengan fonologi, ilmu fonologi meneliti bunyi bahsa tertentu menurut fungsinya.
Misalnya saja, bunyi {p}-lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya diapit antara kurang persegi dalam bahasa Inggris dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya sehingga udara keluar dengan “meletup”. Deskripsi seperti itu adalah deskripsi fonetis. Deksripsi yang demikian dapat disempurnakan lebih terinci. Misalnya, dalam kata (Inggris) pot, [p¬h]-nya “beraspirasi”, artinya disusul bunyi seperti bunyi “letupan” pada awal kata; akan tetapi dalam kata spot, [p]-nya tidak “beraspirasi” demikian” (karena tidak merupakan satu-satunya ‘konsonan” pada awal kata). Perbedaan tersebut adalah perbedaan fonetis semata-mata, tidak fonologis.
Dua bunyi yang secara fonetis berbeda dikatakan mempunyai perbedaan fonologis bila perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan makna antara dua kata. Misalnya saja, dalam bahasa Indonesia [l) dan [r] berbeda secara fungsional, atau secara fonologis, karena membedakan kata seperti dalam pasangan rupa; lupa. Maka untuk bahasa Indonesia /l/ dan /r/ merupakan “fonem” yang berbeda (lazimnya, lambang fonem diapit antara garis miring). Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, (l) dan [r] tidak pernah membedakan kata-kata yang berbeda; atau, dengan perkataan lain, tidak bebeda secara fonologis, tidak merupakan fonem yang berbeda.
C. Morfologi
Ilmu morfologi menyangkut struktur “internal” kata. Beberapa contoh akan menjelaskan hal itu.
Perhatikanlah kata seperti tertidur. Kata ini terdiri atas dua “morfem”, yakni ter-dan tidur (ter-diberi garis karena tidak pernah berdiri sendiri). Jadi kata tertidur mempunyai struktur “internal” dengan bagian-bagianya ter-tidur. Penganalisisan seperti itu disebut “morfologi”. Kata tidur itu sendiri terdiri atas satu morfem saja, yaitu tidur. Perhatikanlah juga kata Inggris comfort; satu morfem saja. Kata Compfort-able terdiri atas dua morfem.
D. Sintaksis
Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut susunan kata-kata di dalam kalimat. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia kalimat “Kami tidak dapat melihat pohon itu”, urutan katanya sudah tentu tidak mungkin kita tuturkan “kalimat” seperti *Pohon itu dapat kami tidak melihat (binatang kecil, atau “asterik”, pada awal melambangkan tidak “beresnya” “Kalimat” seperti itu). Demikian pula, urutan kata dalam “kalimat” Inggris seperti *we not tree that see can menyalahi aturan-struktur yang sesuai adalah we cannot see that tree.
Morfologi dan sintaksis bersama-sama termasuk “tatabahasa. Maka dari itu hal-hal yang dipaparkan sampai sejauh ini sudah menunjukkan adanya suatu “hierarki”,
Bagai 1. Hierarki struktur bahasa
Fonetik ditempatkan paling bawah, karena hanya menyangkut bunyi bahsa dari sudut “fisik”. Fonologi membedakan fonem-fonem dalam bahasa tertentu, dan masing-masing fonem membedakan kata-kata menurut artinya (seperti dalam hal rupa : lupa tadi). Jadi fonologi sungguh-sungguh termasuk struktur bahasa, dan bersifat “fungsional”, namaun tidak termasuk tatabahasa. Akhirnya, pada bagian paling atas dalam hierarki ini, dapat kita tempatkan tatabahasa, dan di dalam tatabahasa itu yang paling atas adalah sintaksis, dengan morfologi di bawahnya.
E. Leksikologi
Istilah “leksikon” dalam ilmu linguistik bearti perbendaharaan kata-kata itu sendiri sering disebut “leksem”. Cabang linguistik yang berurusan dengan leksikon itu disebut “leksikologi”. Istilah “ leksikologi” agak jarang dipakai, karena urusan utama para ahli leksilologi” agak jarang dipakai, karena urusan utama para ahli leksikologi adalah penyusunan kamus, dan penyusunan kamus disebut “ leksikografi”. Leksikografi itu tidak lain adalah bentuk “terapan dari leksikologi.
Setiap bahasa mempunyai perbendaharaan kata yang cukup besar, meliputi puluhan ribu kata. Setiap kata mempunyai arti, atau makna, sendiri, dan urusan leksikografi tidak lain adalah pemerian arti masing-masing leksem.
Leksikologi jelas berhubungan leksikon dengan struktur fonologi itu, ada beberapa segi yang menarik perhjatian, tetapi disini akan disebutkan satu saja. Bandingkan leksem-leksem Inggris meat dan flesh. Perbendaan kedua leksem tersebut dapat dijelaskan sebagai beriktu; apa yang dirujuk dengan kata meat dapat dimakan, apa yang dirujuk dengan kata flesh tidak. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia kedua-duanya termasuk leksem daging, atau dalam leksem Belanda vlees. Jadi, yang dibedakan dalam bahasa Inggris adalah menurut “mungkin tidaknya dimakan”, sedangkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda tidak ada perbedaan dalam hal itu. Contoh sederhana ini menunjukkan adanya sistem leksikal yang lebih berbelit-belit dalam bahasa tertentu bila dibandingkan dengan bahasa tertentu yang lain.
F. Semantik
Semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Contoh jelas dari perian atau “deskripsi” semantis adalah leksikografi: masing-masing leksem diberi perian artinya atau maknanya; perian semantis.
Di pihak lain, semantik termasuk tatabahasa juga. Contohnya adalah morfologi. Dalam bentuk (Inggris) un-comfort-able, morfem un- jelas mengandung arti “tidak”; uncomfortable artinya sama dengan not comfortable. Demikian pula, bentuk Indonesia memper-table mengandung morfem memper-, yang artinya boleh disebut “kausatif”; maksudnya, mempertebal artinya ‘menyebabkan sesuatu menjadi lebih tebal’ (perian makna dalam ilmu linguistik lazim dilambangkan dengan mengapitnya antara tanda petik tunggal).
Di dalam sintaksis ada pula unsur semantis tertentu. Analisislah kalimat saya membangun rumah. Saya disebut “subjek”, dan subjek itu adalah ‘pelaku’ kegiatan terntentu (yaitu membangun). Sebaliknya, rumah (dalam kalimat tadi) “menderita” kegiatan membangun, dan boleh disebut ‘penderita’. Jadi makna tertentu pasti ada dalam sintaksis, meskipun tentunya bukan makna leksikal; makna itu disebut “makna gramatikal”.
G. Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara punutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Disini hanya satu dua contoh saja memadai. Perhatikanlah kalimat Inggris John went home and had a snack. Di sini ada dua klausa: John went home, dan John had a snack. Kedua klausa tersebut digabungkan menjadi satu kalimat. Catatlah bahwa “subjek” John dalam klausa kedua dihilangkan. Dalam analisis linguistik pelesapan subjek itu sering dilambangkan dengan simbol- (angka nol tembus garis miring), sehingga kalimat tadi dapat diberi bentuk John went home and-had a snack. Subjek kedua menjadi “nol” karena tidak dibutuhkan oleh pendengar untuk mengerti apa yang dituturkan. Dengan perkataan lain, subjek kedua dilesapkan demi kemudhan komunikasi. Demikian pula dalam kalimat Indonesia suryanto pulang dan-mengambil makanan kecil.
Daripada melesapkan subjek kedua kita dapat juga memakai he atau dia dalam kalimat-kalimat tadi : [Ɵ] and he had a snak, dan [Ɵ] dan dia mengambil makanan kecil. (titik-titik yang diapit antara kurang persegi sering dipakai untuk menghilangkan sebagaian dari suatu teks) he dan dia mengacu pada john, dan hal itu dimengerti oleh pendengar karena john telah disebut terlebih dahulu, yaitu John.
Kebutuhan komunikasi dan pengacuan termasuk juga dalam struktur bahasa, dan struktur tersebut dapat agak berbeda-beda dalam bahasa-bahasa yang berlainan.
H. Linguistik Sinkronik dan Linguistik Diakronik
Kedua istilah itu berasal dari Ferdinand de Saussure. Pada abad ke 19 hampir seluruh bidang linguistik merupakan linguistik historis, khususnya menyangkut bahasa –bahasa Indo-Eropa. Yang diteliti pada zaman itu adalah, misalnya, bagaimanakah bahasa Yunani Kuno dan bahasa Latin menunjukkan keserupunan. Hal tersebut ditemukan berkat penelitian tentang bahasa sanskerta. Pada abad itu diteliti pula bagimanakah rumpun bahasa-bahasa german (seperti bahasa jerman, bahasa belanda, bahasa inggris, dan bahasa-bahasa skandinavia) salaing berbuhungan secara historis; dan bagaimanakah bahasa-bahasa Roman (seperti bahasa Prancis, bahasa Oksitan, bahasa Spanyol, bahasa Portugis, dan lain sebagainya) diturunkan dari bahasa latin.
Dalam bukunya Cours de linguistique generale, de saussure menganjurkan suatu studi bahasa yang tidak hanya meneliti hal-hal yang historis (“diakronik”, istilahnya), tetapi juga “struktur” bahasa tertentu tanpa memperhatikan segi diakroniknya-penelitian baru itu dinamainya “sinkronik”. Secara sinkronik, umpamanya, kita dapat bertanya bagaimana sekarang ini hubungan antara awalan ber- dan men-, tanpa memperdulikan tentang awalan yang dulu (dalam bahasa melayu kuno) pernah menjadi sumber dari kedua awalan tersebut, yaitu awalan mar-, demikian pula, untuk bahasa Inggris bila diteliti secara sinkronik, tidak perlu dihiraukan tiadanya akhiran untuk ajektiva, meskipun ada banyak akhiran yang demikaian dalam bahasa Inggris kuno, sebelum tahun 1000 Masehi.
Dalam buku ini hanya linguistik sinkronik saja yang dipaparkan, sebagai persiapan untuk mengadakan penelitian tentang bahasa Indonesia dan bahasa lainnya yang belum punah. Meskipun demikian, di sana-sini akan diberikan beberapa contoh pula dari bahsa-bahasa yang sudah punah, tetapi juga dari sudut singkronik, yaitu tanpa memperhatikan sejarahnya sebelumnya. Akan tetapi perlu disadari bahwa linguitik diakronik itu penting juga. Misalnya saja, bila kita tahu tatabahasa bahasa Melayu Kuno, akan lebih mudahlah bagi kita untuk membuka persepektif baru untuk penelitian bahasa Indonesia yang sekarang.
I. Linguistik Teoritik
Banyak ilmu biasanya dibedakan menurut aspek teoritiknya dan manfaatnya secara paraktis. Misalnya, ilmu psikologi meneliti pengalaman manusia menurut perkembangannnya, emosinya, perasaanya, wataknya, hubungannya dengan sesama manusia, dan lain sebagainya. Dalam bidang kaunseling, pesikologi “diterapkan” pada persoalan konkrit, dan disebut psikologi terapan.
Di atas sudah disebut bahwa bidan leksikologi, yaitu penelitian sematis tentang perbendaharaan kata, dapat dimanfaatkan tuntuk “leksilografi” atau penyusunan kamus. Dengan demikian leksikografi dapat disebut leksikologi terapan.
Demikian pula, pengetahuan dan penguasaan bidang linguistik banyak sekali manfaatnya untuk pengajaran bahasa, misalnya, mengapa orang indonesia mengalami kesulitan dalam berbagai hal, bila belajar bahasa Inggris? Salah satu contoh kesulitan itu adalah pemakainan kata sandang (atau “artikel”) Inggris the. Pengajar bahasa Inggris di Indonesia akan memahami kesulitan itu dengan lebih baik bila ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang “kedefinitan” dalam bahasa Indonesia dan dalam baghasa Inggris. Maka pemanfaatan pengetahuan linguistik dalam pengajaran bahasa asing adalah salah satu bentuk linguistik.
Dewasa ini linguistik juga dimanfaatkan untuk penyusunan program-program komputer, seperti terjemahan dengan bantuan komputer. (Disunting dari :J.W.M Verhaar)
EVALUASI PEMBELAJARAN
EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
A. Pengertian Evaluasi
Pengertian evaluasi dalam arti luas, adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternative-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978:5). Sesuai dengan pengertian tersebut maka setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sangat direncanakan untuk memperoleh informasi atau data; berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu keputusan (Ngalim P, 1990: 3).
Dalam hubungannya dengan kegiatan pengajaran, Norman E. Gronlund (1976) merumuskan pengertian evaluasi sebagai berikut : “ Evaluation…a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils “. ( Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa ).
Dari rumusan tersebut di atas sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk lebih memahami evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu ;
1. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Artinya bahwa evaluasi (dalam pengajaran ) merupakan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya kegiatan di akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan selama proses berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap selesai.
2. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi. Dalam bidang pengajaran data yang dimaksud bias berupa perilaku siswa selama mengikuti pelajaran, hasil ulangan atau tugas-tugas pekerjaan rumah, nilai akhir catur wulan/semester, nilai mid semester, nilai ujian akhir sekolah, dan sebagainya.
3. Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Tanpa merumuskan atau menentukan tujuan terlebih dahulu, tidak mungkin kita dapat memberikan suatu penilaian sejauh mana pencapaian hasil belajar siswa dapat diketahui.
B. Tujuan Evaluasi dalam Pengajaran
Dengan evaluasi hasil belajar-mengajar, kita dapat mengetahui kemajuan prestasi belajar siswa, dapat mengetahui efesiensi metode, teknik dan alat bantu yang digunakan, mengetahui siswa mana saja yang belum menguasai materi yang disampaikan dalam ptroses belajar mengajar, serta mengetahui siswa mana yang perlu mendapat perbaikan dan himbingan dalam belajarnya.
C. Fungsi Evaluasi dalam Pengajaran
Adapun fungsi evaluasi dalam pembelajaran adalah (1) sebagai umpan balik dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, artinya umpan balik bagi guru sehingga merupakan dasar memperbaiki proses belajar siswa dan mengajar guru, (2) untuk mengetahui, mengukur, dan menentukankemajuan prestasi belajar siswa. Data ini dapat dijadikan dasar laporan kepada orang tua siswa sehingga ia mengetahui kemajuan/prestasi putra putrinya, (3) untuk mencari data tentang tingkat kemampuan siswa, bakat, dan minat yang mereka miliki. Hal ini membantu siswa agar dapat ditempatkan pada situasi belajar yang lebih tepat baginya yang sesuai dengan bakat dan minatnya, misalnya untuk penentuan program pilihan atau penjurusan, dan (4) untuk mengetahui latar belakang siswa tertentu yang memerlukan bantuan khusus karena mengalami kesulitan belajar.
D. Jenis-jenis Evaluasi dalam Pengajaran
Sesuai dengan tujuan dan fungsi evaluasi di atas, jenis-jenis evaluasi pengajaran dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Evaluasi / Tes Formatif
Evaluasi ini dilakukan pada setiap akhir satuan pelajaran yang fungsinya untuk memperbaiki proses belajar mengajar atau memperbaiki program satuan pelajaran. Evaluasi ini dilakukan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung secara kontinyu. Evaluasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengukur tercapai tidaknya TIK, juga untuk mengetahui tentang ketuntasan belajar siswa yang telah mencapa setidak-tidaknya 75 % dari tujuan yang telah direncanakan. Dan bagi siswa yang belum mencapai taraf penguasaan selanjutnya diberikan bantuan khusus melalui program remedial teaching, dengan cara ;
a. Menghitung persentase jawaban yang benar yang dicapai setiap siswa dalam tes secara keseluruhan, guna mengetahui sampai berapa jauh penguasaan setiap siswa terhadap bahan ajar yang telah dikuasainya, dengan kriteria belajar tuntas sekurang-kurangnya mencapai 75 %. Dengan demikian guru dapat mempertimbangkan apakah siswa tersebut perlu mendapat bantuan khusus dalam mengatasi kesulitan belajarnya. Untuk menghitung persentase tersebut dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Jumlaj jawaban soal yang benar
X 100 %
Jumlah soal seluruhnya
b. Mengetahui persentase penguasaan kelas atas bahan yang telah disajikan. Dengan kata lain berapa perswenkah bahan ajar yang telah disajikan itu dapat dikuasai oleh siswa. Cara pengolahan ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan, apakah kriteria keberhasilan belajar yang diharapkan telah tercapai. Ini berguna bagi guru untuk mengukur dirinya sendiri, jika keberhasilan siswa keseluruhan dalam kelas mencapai 75 %, ini berarti terdapat keberhasilan bagi guru tersebut. Namun jika sebaliknua, jika tingkat keberhasilan mencapai kurang dari 75 %, maka guru tersebut kurang berhasil dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan demikian guru dapat mencari sebab-sebab terjadi kegagalan dalam proses belajar mengajarnya. Untuk menghitung persentase penguasaan siswa atas bahan yang telah disajikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah persentase jawaban yang benar yang dicapai
setiap siswa dalam tes keseluruhan
X 100 %
Jumlah siswa yang mengikuti tes
c. Menghitung angka persentase siswa yang gagal dalam setiap soal. Dengan melihat angka persentase ini guru akan dapat mengetahui sejauh mana TIK yang bersangkutan dengan soal yang dibuat dapat dikuasai oleh siswa. Atas dasar angka persentase siswa yang gagal dalam setiap soal, guru dapat mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang bersangkutan dengan soal tes perlu diulangi lagi secara umum atau tidak. Untuk menghitung angka persentase tersebut dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Banyaknya siswa yang gagal atas suatu soal
X 100 %
Jumlah siswa yang mengikuti tes
2. Evaluasi Subsumatif dan Siumatif
Evaluasi subsumatif dilakukan setelah beberapa satuan bahasan selesai diajarkan kepada siswa. Pelaksanaan kegiatan subsumatif ini dapat dilakukan pada perempat semester/caturwulan atau pada pertengahan semester/catur wulan yang lazim kita sebut dengan istilah midsemester. Atau bila perlu setiap dua atau tiga satuan bahasan selesai diberikan kepada siswa, hal ini bergantung pada kebutuhan, scope dan sequence dari materi pelajaran itu sendiri. Nilai evalusi subsumatif ini diperuntukkan bagi kenaikan kelas setiap siswa, yang dilakukan tiap akhir semester/caturwulan setelah siswa menyelesaikan program belajar dari suatu bidan waktu tertentu pula.g studi selama satu periode
Seorang siswa dikatakan berhasil dalam satu bidang studi atau mata pelajaran, apabila memperoleh nilai akhir sekurang-kurangnya 6,0 (enam koma nol) atau sesuai dengan KKM (kriteria ketuntasan minimal).
3. Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Evaluasi belajar tahab akhir merupakan kegiatan evaluasi yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran dalam rangka mengakhiri program pendidikan pada suatu lembaga pendidikan. Evaluasi ini dilaksanakan baik tertulis, lisan, maupun secara praktik, yang dilaksanakan secara serentak di sekolah-sekolah yang sejenis yang pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Bahan yang dievaluasikan mulai dari materi kelas I sampai kelas III menurut kurikulum yang berlaku saat itu, sesuai dengan komposisi bahan ajar masing-masing mata pelajaran. Hasil evaluasi ini sebagai penentu setiap siswa apakah mereka berhasil atau tidak, dengan kata lain apakah mereka lulus atau tidak. Keberhasilan dari lembaga itulah yang menentukan kualitas/mutu sekolah atau lembaga pendidikan tersebut. Dan bentuk soal yang disajikan/diujikan tentunya dibuat oleh guru mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan.
4. Evaluasi Belajar Tahab Akhir Nasional (EBTANAS)
Sampai saat ini pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir nasional masih sangat relevan, walaupun dengan istilah yang berbeda, dengan maksud untuk pelaksanaan pendidikan, dengan tujuan :
a. Menciptakan standar nasional dalam kualitas pendidikan dasar dan menengah, mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air.
b. Mengetahui secara nasional ketercapaian tujuan kurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah dalam lingkungan Ditjen Dikdasmen sehimgga proses belajar mengajar dilaksanakan berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan.
c. Menyederhanakan prosedur seleksi penerimaan murid/siswa baru (PMB/PSB) pada sekolah yang lebih tinggi sehingga baik SMTP maupun SMTA tidak perlu mengadakan tes seleksi masuk bagi calon siswanya, tetapi cukup mengadakan penerimaan dengan melihat NEM aslinya, sehngga diranking semua pendaftar untuk ditentukan berapa passing grade atau batas terendah NEM yang diterima sekolah yang bersangkutan.
E. Perencanaan Evaluasi
Dalam merencanakan penyusunan tes hasil belajar (achievement test) diuperlukan adanya langkah-langkah yang harus ditempuh secara sistematis sehingga diperoleh tes yang betul-betul tepat (valid) sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai dengan tuntutan kurikulum sebagai aspek tingkah laku yang menjadi sasaran penilaian. Adapun langkah-langkah yang dimaksud meliputi kegiatan sebagai berikut :
BAGAN LANGKAH-LANGKAH DALAM KONSTRUKSI TES
1. Analisis Kurikulum
Adapun yang perlu dianalisis adalah :
a. Aspek tujuan yang meliputi tujuan instruksional dan tujuan kurikuler, yang
akan mempengaruhi bentuk tes yang akan dibuat.
b. Pokok bahasan/sub pook bahasan yang akan dijadikan bahan uji dalam tes
tersebut, yang akan mempengaruhi bentuk, tingkat kesukaran, maupun
jumlah serta proporsi soal yang akan dibuat.
2. Analisis Buku dan Sumber Materi Pelajaran (Timbangan Buku)
Perlunya analisis buku atau timbangan buku pelajaran ini adalah :
a. Menetapkan materi atau bahan ajar yang dijadikan sumber pembuatan soal.
b. Menentukan kedalaman dan urutan (skope & sequence) materi tes yang
mempengaruhi tingkat kesukaran soal tes.
c. Pembuatan soal tidak menyimpang dari materi yang dipelajari oleh siswa.
3. Menentukan atau Merumuskan Tujuan Tes
Dalam perencanaan evaluasi ini perlu ditetapkan tujuan apa yang akan dijadikan sasaran dalam pelaksanaan penilaian, karena tujuan tersebut akan mementukan jenis tes atau penilaian yang akan dilaksanakan.
4. Menentukan dan Menyususn Kisi-Kisi
Pembuatan dan penyusunan kisi-kisi (lay out test) perlu dilakukan agar materi tes agar betul-betul sesuai dengan materi pelajaran atau satuan bahasan, aspek intelektual, bentuk soal, serta jumlah dan proporsi soal. Kisi-kisi merupakan peta penyebaran soal yang didasarkan pada pokok bahasan atau sub pokok bahasan, ruang lingkup, jenjang kemampuan yang diukur, bentuk soalmaupun tingkat kesukarannya.
5. Penulisan Soal
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan soal adalah ; (a) buatlah soal sesuai dengan kisi-kisi yang telah ditentukan agar tidak menyimpang dari tuntutan kurikulum, (b) buatlah petunjuk cara mengerjakannya, agar dapat dipahami oleh siswa (teste) dengan baik, (c) untukmemudahkan memeriksa hasil evaluasi, perlu disiapkan kunci jawaban, terutama bagi orang lain yang akan memeriksanya, (d) susunlah standar atau norma penilaian yang akan dijadikan sebagai patokan atau penskoran nilai, dan (e) gunakan format penulisan butir soal yang baik dan baku.
6. Reproduksi Soal
Dalam mereproduksi/menggandakan soal haruslah tetap dijaga kerahasiaannya jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang akanmemanfaatkan kesempatan sehingga terjadi kebocoran, ebab apabila terjadi kebocoran maka tidak ada artinya lagi untuk dilaksanakan evaluasi.
7. Uji Coba Tes
Sebagai langkah terakhir dalam pelaksanaan evaluasi adalah uji coba tes, yang dilakukan terhadap sampel di luar siswa yang akan di tes, agar tidak terjadi kebocoran. Hasil dari uji coba ini kemudian dianalisis agar kelemahan-kelemahan setiap soal tersebut dapat disempurnakan. Setelah uji coba ini selesai dilakukan barulah soal siap untuk diberikan melalui evaluasi kepada testee.
F. Penyusunan Soal
Dalam penyusunan soal atau konstruksi soal perlu diperhatikan hal sebagai berikut
1. Pilihan ganda, adalah salah satu bentuk dari jenis tes objektif yang terdiri atas pokok soal (stem) yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan dari sejumlah jawaban (option), dengan criteria sebagai berikut : (1) melengkapi pilihan, (2) hubungan antarhal, (3) tinjauan kasus,
(4) asosiasi pilihan ganda, (5) membaca diagram
2. Bentuk Soal Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Soal Non Objektif (BUNO), adalah suatu soal yang menuntut jawaban dari siswa untuk mengingat, mengorganisasikan gagasan atau hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut secara tertulis dengan menggunakan kata-kata sendiri. Kriteria penilaian bentuk soal seperti ini nbiasanya adalah : (1) kemampuan mengingat, (2) memahami, (3) menerapkan,
(4) menganalisis, (5) mensinestesia, dan (6) menilai
G. Teknik Analisis Item Tes
Teknik analisis item tes dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran seperlunya pengenai pengolahan hasil tes yangdapat kita laksanakan dengan dua criteria pendekatan, yaitu Pendekatan Kriteria Mutlak dan Pendekatan Ukuran Norma Kelompok.
Hal ini dilakukanj bila siswa dituntut kan kriteria untuk menguasai bahan pengajaran seluruhnya. Pengolahan skor mentah dengan skala nilai 0 – 10 yang berdasakan kriteria mutlak dengan menggunakan rumus sebagai berikut, yaitu Skor riil yang diperoleh siswa dibagi dengan skor ideal atau skor maksimum yang mungkin dicapai, kemudian hasil bagi ini dikalikan 10.
NR
NA = ------------ X 10
NI
Referensi :
Hamalik, Umar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Bandung.
Purwanto, Ngalim M. 1997. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Uzer Usman, Muh. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. PT
Remaja Rosdakarya. Bandung .
TEORO LINGUISTIK
TEORI LINGUISTIK
Linguistik berarti ilmu bahasa. Ilmu bahasa adalah ilmu yang objeknya bahasa. Bahasa di sini maksudnya adalah bahasa yang digunakan sehari-hari (atau fenomena lingual). Karena bahasa dijadikan objek keilmuan maka ia mengalami pengkhususan, hanya yang dianggap relevan saja yang diperhatikan (diabstraksi). Jadi yang diteliti dalam linguistik atau ilmu bahasa adalah bahasa sehari-hari yang sudah diabstraksi, dengan demikian anggukan, dehem, dan semacamnya bukan termasuk objek yang diteliti dalam linguistik.
Linguistik modern berasal dari Ferdinand de Saussure, yang membedakan langue, langage, dan parole (Verhaar, 1999:3). Langue adalah salah satu bahasa sebagai suatu sistem, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Langage berarti bahasa sebagai sifat khas manusia, sedangkan parole adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret (dalam bahasa Indonesia ketiga istilah tadi disebut bahasa saja dan mengacu pada konsep yang sama). Sejalan dengan hal di atas, Robins (1992:55) mengatakan bahwa langue merupakan struktur leksikal, gramatikal, dan fonologis sebuah bahasa, dan struktur ini sudah tertanam dalam pikiran penutur asli pada masa kanak-kanak sebagai hasil kolektif masyarakat bahasa yang dibayangkan sebagai suatu kesatuan supraindividual. Dalam menggunakan bahasanya, penutur bisa berbicara di dalam lingkup langue ini; apa yang sebenarnya diucapkannya adalah parole, dan satu-satunya kendali yang dapat dia atur adalah kapan dia harus berbicara dan apa yang harus ia bicarakan. Kaidah leksikal, gramatikal, dan fonologis telah dikuasai dan dipakai, dan kaidah tersebut menentukan ruang lingkup pilihan yang dapat dibuat oleh penutur. Pembedaan ini seperti apa yang dibuat Chomsky, yaitu antara competence (apa yang secara intuisi diketahui penutur tentang bahasanya) dan performance (apa yang dilakukan penutur ketika dia menggunakan bahasanya).
Ilmu linguistik sendiri sering disebut linguistik umum, artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja tetapi juga menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Sedangkan linguistik teoretis memuat teori linguistik, yang mencakup sejumlah subbidang, seperti ilmu tentang struktur bahasa (grammar atau tata bahasa) dan makna (semantik). Ilmu tentang tata bahasa meliputi morfologi (pembentukan dan perubahan kata) dan sintaksis (aturan yang menentukan bagaimana kata-kata digabungkan ke dalam frasa atau kalimat). Selain itu dalam bagian ini juga ada fonologi atau ilmu tentang sistem bunyi dan satuan bunyi yang abstrak, dan fonetik, yang berhubungan dengan properti aktual seperti bunyi bahasa atau speech sound (phone) dan bunyi non-speech sound, dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dihasilkan dan didengar (http://en.wikipedia.org/wiki/Linguistics).
Menurut Verhaar (1999:9), setiap ilmu pengetahuan biasanya terbagi atas beberapa bidang bawahan, misalnya ada linguistik antropologis atau cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan ahli antropologi budaya, ada sosiolinguistik untuk meneliti bagaimana dalam bahasa itu dicerminkan hal-hal sosial dalam golongan penutur tertentu. Tetapi bidang-bidang bawahan tersebut mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasari. Bidang yang mendasari itu adalah bidang yang menyangkut struktur dasar tertentu, yaitu struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonetik dan fonologi; struktur kata atau morfologi; struktur antarkata dalam kalimat atau sintaksis; masalah arti atau makna yang bidangnya disebut semantik; hal-hal yang menyangkut siasat komunikasi antarorang dalam parole atau pemakaian bahasa, dan menyangkut juga hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan, atau disebut pragmatik.
Pendekatan SAVI dalam Pembelajaran
PENDEKATAN SAVI DALAM PEMBELAJARAN
Istilah SAVI merupakan singkatan dari Somatic, Auditory, Visual dan Intellectual. Keempat istilah tersebut memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan belajar. Makna dari keempat istilah tersebut sebagaimana diungkapkan Meier yaitu : a) Somatic : belajar dengan bergerak dan berbuat b) Auditory : belajar dengan berbicara dan mendengar c) Visual : belajar dengan mengamati dan menggambarkan d) Intellectual : belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Pendekatan SAVI mengintegrasikan keempat unsur tersebut sedemikian rupa sehingga siswa dan guru dapat secara bersama-sama menghidupkan suasana kelas. Pendekatan SAVI merupakan bagian dari Accelerated Learning atau pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah pembelajaran berlangsung secara cepat dan menyenangkan dan memuaskan. Pemilik konsep dasar ini adalah Dave Meier. Menurut Meier, “pembelajaran dengan Pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intellectual dan penggu-naan semua indera yang dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran”.18 Pendekatan SAVI ini berpengaruh besar dalam pembelajaran karena pendeka-tan SAVI mengintegrasikan keempat unsur yaitu somatic, auditory, visual dan intellectual dalam satu peristiwa pembelajaran. Selain dengan mengintegrasi-
Kan kempat unsur tersebut, pendekatan SAVI juga dapat mengatasi cara dan gaya belajar siswa yang beragam dalam suatu kelas. Hal ini bertujuan agar siswa dapat bersama-sama menyerap pengeta-huan atau materi yang disampaikan oleh guru. Di samping itu, pendekatan SAVI juga menekankan pada unsur intellectual yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan Pendekatan SAVI merupakan pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Dave Meier yang didasarkan bahwa manusia memiliki empat dimensi yaitu : somatic, auditory, visual dan Intellectual dan menekankan adanya penggabungan gerakan fisik dan aktivitas intellectual serta penggunaan semua indra yang dapat berpengaruh besar dalam pembelajaran Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2252580-pengertian-pendekatan-savi/#ixzz1znjpXzRO
Istilah SAVI merupakan singkatan dari Somatic, Auditory, Visual dan Intellectual. Keempat istilah tersebut memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan belajar. Makna dari keempat istilah tersebut sebagaimana diungkapkan Meier yaitu : a) Somatic : belajar dengan bergerak dan berbuat b) Auditory : belajar dengan berbicara dan mendengar c) Visual : belajar dengan mengamati dan menggambarkan d) Intellectual : belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Pendekatan SAVI mengintegrasikan keempat unsur tersebut sedemikian rupa sehingga siswa dan guru dapat secara bersama-sama menghidupkan suasana kelas. Pendekatan SAVI merupakan bagian dari Accelerated Learning atau pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah pembelajaran berlangsung secara cepat dan menyenangkan dan memuaskan. Pemilik konsep dasar ini adalah Dave Meier. Menurut Meier, “pembelajaran dengan Pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intellectual dan penggu-naan semua indera yang dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran”.18 Pendekatan SAVI ini berpengaruh besar dalam pembelajaran karena pendeka-tan SAVI mengintegrasikan keempat unsur yaitu somatic, auditory, visual dan intellectual dalam satu peristiwa pembelajaran. Selain dengan mengintegrasi-
Kan kempat unsur tersebut, pendekatan SAVI juga dapat mengatasi cara dan gaya belajar siswa yang beragam dalam suatu kelas. Hal ini bertujuan agar siswa dapat bersama-sama menyerap pengeta-huan atau materi yang disampaikan oleh guru. Di samping itu, pendekatan SAVI juga menekankan pada unsur intellectual yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan Pendekatan SAVI merupakan pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Dave Meier yang didasarkan bahwa manusia memiliki empat dimensi yaitu : somatic, auditory, visual dan Intellectual dan menekankan adanya penggabungan gerakan fisik dan aktivitas intellectual serta penggunaan semua indra yang dapat berpengaruh besar dalam pembelajaran Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2252580-pengertian-pendekatan-savi/#ixzz1znjpXzRO
Kamis, 14 Juni 2012
Kiat-kiat Pembelajaran yang Efektif
Kiat-kiat Pembelajaran yang Efektif
Mengajar adalah suatu seni. Guru yang cakap
mengajar dapat merasakan bahwa mengajar di mana saja adalah suatu hal yang
menggembirakan, yang membuatnya melupakan kelelahan. Selain itu guru juga dapat
mempengaruhi muridnya melalui kepribadiannya. Guru yang ingin murid-muridnya
mengalami kemajuan, perlu mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap teori
dan praktek mengajar sehingga ia dapat terus-menerus meningkatkan cara
mengajar. Sepuluh jenis prinsip dasar dalam cara mengajar yang disajikan di
bawah ini, dapat dipakai sebagai petunjuk oleh para pengajar guna meningkatkan
cara mengajar mereka.
1) Menguasai Isi/Materi Pengajaran
Hukum yang pertama dalam teori “Tujuh Hukum
Mengajar” dari John Milton Gregory berbunyi: “Guru harus mengetahui apa yang
diajarkan.” Jika guru sendiri mengetahui dengan jelas inti pelajaran yang akan
disampaikan, ia dapat meyakinkan murid dengan wibawanya, sehingga murid percaya
apa yang dikatakan guru, bahkan merasa tertarik terhadap pelajaran.
2) Mengetahui dengan Jelas
Sasaran Pengajaran
Pengajaran yang jelas sasarannya membuat murid
melihat dengan jelas inti dari pokok pelajaran itu. Mereka dapat menangkap
seluruh liputan pelajaran, bahkan mengalami kemajuan dalam proses belajar.
Empat macam ciri khas yang harus diperhatikan pada saat memilih dan menuliskan
sasaran pengajaran:
(a). Inti
dari sasaran harus disebutkan dengan jelas.
(b). Ungkapan
penting dari sasaran harus bertitik tolak dari konsep murid.
(c). Sasaran
harus meliputi hasil belajar.
(d). Hasil
sasaran yang dapat dicapai.
Contoh: Contoh-contoh di atas telah menjelaskan
empat macam hasil belajar yang berbeda: pengetahuan, pengertian, sikap, dan
ketrampilan.
3) Utamakan Susunan yang
Sistematis
Pengajaran yang tidak bersistem bagaikan sebuah
lukisan yang semrawut, tidak memberikan kesan yang jelas bagi orang lain. Tidak
adanya inti, tidak tersusun, tidak sistematis, akan sulit dipahami dan sulit
diingat. Oleh sebab itu inti pengajaran harus disusun dengan teratur dan
sistematis.
4) Banyak Gunakan Contoh
Kehidupan
Pada saat mengajar, seringlah menggunakan contoh
atau perumpamaan kehidupan sehari-hari atau yang pernah dialami misalnya dalam
perdagangan, rental, nilai uts / uas, dan lain sebagainyaContoh kehidupan
adalah jembatan antara kebenaran ilmu dan dunia nyata
5) Cakap Menggunakan
Bentuk Cerita
Bentuk cerita tidak hanya diutarakan dengan
kata-kata, namun juga boleh dicoba dengan menambahkan gerakan-gerakan, yang
memperdalam kesan murid. Bentuk yang paling lazim adalah menggunakan
perumpamaan untuk menjelaskan kebenaran.
6) Menggunakan Panca Indera Murid
Penggunaan bahan pengajaran yang berbentuk audio
visual berarti menggunakan panca indera murid. Bahan pengajaran audio visual
bukan saja cocok untuk Sekolah Minggu anak-anak, juga untuk Sekolah Minggu
pelbagai usia. Ensiklopedia adalah buku yang sering dipakai oleh para ilmuwan,
namun di dalamnya terdapat banyak penjelasan yang menggunakan gambar-gambar.
Itu berarti bahwa para ilmuwan pun perlu bantuan gambar untuk mengadakan
penelitian. Para ahli pernah mengadakan catatan statistik selama 15 bulan,
sebagai hasilnya mereka mendapatkan persentase dari isi pelajaran yang masih
dapat diingat oleh murid: bagi murid yang hanya tergantung pada indera
pendengaran saja masih dapat mengingat 28%, sedangkan bagi murid yang
menggunakan indera pendengaran ditambah dengan indra penglihatan dapat
mengingat 78%.
7) Melibatkan Murid dalam
Pelajaran
Melibatkan murid dalam pelajaran dapat menambah
ingatan mereka, juga motivasi dan kegemaran mereka. Cara itu dapat
menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin terjadi ditengah pertukaran pikiran
antara guru dan murid, selain mengurangi tingkah laku yang mengacau. Misalnya:
biarkan murid menggunakan kata-katanya sendiri untuk menjelaskan argumentasi
atau pendapatnya; biarlah murid menggali dan menemukan hubungan antar konsep
yang berbeda, biarlah murid bergerak sebentar. Jika murid sibuk melibatkan diri
dengan pelajaran, maka tidak ada peluang lagi untuk mengacau atau membuat ulah.
8) Menguasai Kejiwaan
Murid
Guru yang ingin memberikan pelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan murid, tentu harus memahami perkembangan jiwa murid pada
setiap usia. Ia juga harus mengetahui dengan jelas kebutuhan dan masalah
pribadi mereka. Pengertian antara guru dan murid adalah syarat utama untuk
komunikasi timbal balik. Komunikasi yang baik dapat membuat penyaluran
pengetahuan menjadi lebih efektif.
9) Gunakanlah Cara
Mengajar yang Hidup
Sekalipun memiliki cara mengajar yang paling
baik, namun jika terus digunakan dengan tidak pernah diubah, maka cara itu akan
hilang kegunaannya dan membuat murid merasa jemu. Cara yang terbaik adalah
menggunakan cara mengajar yang bervariasi dan fleksibel, untuk menambah
kesegaran.
10) Menjadikan Diri
Sendiri Sebagai Teladan
Masalah umum para guru adalah dapat berbicara,
namun tidak dapat melaksanakan. Pengajarannya ketat sekali, namun kehidupannya
sendiri banyak cacat cela. Cara mengajar yang efektif adalah guru sendiri
menjadikan diri sebagai teladan hidup untuk menyampaikan kebenaran, dan itu
merupakan cara yang paling berpengaruh. Kewibawaan seseorang terletak pada
keselarasan antara teori dan praktek. Jikalau guru dapat menerapkan kebenaran
yang diajarkan pada kehidupan pribadinya, maka ia pun memiliki wibawa untuk
mengajar.
Rabu, 13 Juni 2012
Analisis Cerpen "Robohnya Surau Kami"
Analisis Cerpen Robohnya
Surau Kami
Latar
Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah
satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di
antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan
imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya
sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa
berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial,
politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang
pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat
miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada
di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan
permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan
oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu
akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang
tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka
jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai
karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang
diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan
ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen
dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk
dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika
cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami
mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A.
Navis.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis
tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan
(bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang
ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada
teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya
karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di
sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut
hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap
berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan
umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A.
Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan
kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin
Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah
Bahrum Rangkuti dalam Polemik
H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan
dalam cerpen Robohnya
Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya
cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen
A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab
kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam
kata pengantar Novel
Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum
pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa
mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan
pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya
khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian
itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan
akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena
pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan
menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat
menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna
hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur
kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen
(sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya.
Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau
mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu
sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS
(Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar
yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah
yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki
daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang
sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam
kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen
dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat
memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran
apresiasi sastra (cerpen).
Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba
mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?
2. Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan?
3. Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam
cerpen tersebut?
4. Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat
dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan
pemilihan bahan ajar itu efektif?
Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami
Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek
Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari
mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat
siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya
dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga
memaparkan sinopsis cerpen Robohnya
Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti
yang dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk.
Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin
dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang
itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain,
tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau
bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki,
apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah
pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan
bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja
karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk
anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang
dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang
mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung,
sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu
sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia
pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin
rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak
berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji
Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua
orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang
tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua
orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan
karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik
pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami itu sebagai berikut:
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan
gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang
mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti
ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami
sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari
mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin
cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca
KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya.
“Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah
salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali,
yaitu :
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta
di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga
masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya
itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya
A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan
dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh
pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi
yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat
merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang
kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf
kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian
diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a)
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini
dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah
? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.
Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya,
ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah
bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas
tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat
marah.
(b)
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa
saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang
di akhirat sana:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 –
13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran
ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c)
Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan
diri pemakainya.
(d)
Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam
cerpen ini:
“…,
kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua,
sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
(e)
Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen
ini halaman 16.
”….
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis,
padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e)
menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat
itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang
amanat di atas.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk
melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu:
latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat
berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar
tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang
bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar
tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada
suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas
menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika
tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kebencian yang bakal roboh ………
Sekali
hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari
mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya
menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial
digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan
tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia,
pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial
yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui
kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang
banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,”
kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan
demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka
bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa
tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang
yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya
Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam
kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa
yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji
soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang
digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar
sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam
kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke
mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku
mengulangi hampa.
“ya.Dia
pergi kerja.”
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti
(2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang
lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan
konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot
itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang
terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang
menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita.
Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang
keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun
yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai
penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas
(ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan
terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya ….
Jika
Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya
…. (hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas
bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi
ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan
bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu
pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam
cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai
dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas
pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu
sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan
yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan
biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh
alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau
bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
…
Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
(hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi
konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si
Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan
pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik
pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang
ajar dia.” Kakek menjawab.
“
Kenapa ? “
“
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja
melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi
terhadapnya di hadapan tokoh
aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri
tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun,
segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa
ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya,
klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata
menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak
pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek
garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu
biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia
pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku
cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan
buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke
mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi
kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian
yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang
yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab?
Lalu di mana salahnya?
Jika
struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam
alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena
benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui
sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang
Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah
dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8).
Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni
bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A.
Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini
begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan
itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi:
“Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek
jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya
ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke
rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini
sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang
bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo
Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk
ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku
tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya.
Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang
diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku
yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data
ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c.
Si Kakek
Tokoh ini
agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya
istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini
adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir
orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan
karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan
gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri
sendiri.
6.
Titik Pengisahan
Yang
dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam
cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita
ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang
terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota
kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya
kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan
tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan
cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan
dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam
cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau
berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan
kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama
pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh
namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan
tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
Gaya
Gaya
merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara
pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara
pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan
kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata,
atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam
cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam
bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan,
beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain
ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat
dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru
di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini
sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau
keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak
tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah
menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang
keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini
tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam
kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan
kelompoknya.
Sedangkan
majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di
dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh
dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas
ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini
Selain
majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti
yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan
yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian
penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus
mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.
Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat
tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen
sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya
karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan,
dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti,
mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah
cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan
penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti
kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya,
cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia,
yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan
katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang
ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam,
kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak
menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata
islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan
dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan
kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila
dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di
kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun
aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut.
Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan
lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari
satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.
Kesimpulan
Cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang
menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan
kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai
berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema
cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat
cerpen ini adalah :
1) jangan
cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat
baik,
3) jangan
terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu
miliki, dan
5) jangan egois.
c.
Latar
Latar yang
ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur
cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa
bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e.
Penokohan
Tokoh
dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji
Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin
tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka
membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan
lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah
mementingkan diri sendiri.
f.
Titik Pengisahan
Titik
pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang
Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam
cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak
jika dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh
siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk
dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih
sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya
yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang
budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria
ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu
pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen
tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif
ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan
minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan
pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu
membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian
mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita
itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk
cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya,
bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya
yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam
cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh
berkali-kali agar memahami isinya.
- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen
itu jika ada.
- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar
manfaat sastra bisa dirasakan
- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau
diskusi sastra di manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi.1999. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu,
J.S. 1979. Sari
Kesusasteraan Indonesia Jilid 2.
Bandung: Pustaka Prima.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode
Penelitian Seni Budaya Jakarta:
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten,
Mursal. 1984. Kesusastraan:
Pengantar teori dan sejarah. Bandung:
Angkasa.
Haryati,
A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip,
Satyagraha.1984. Cerita
Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat.
1997. Metode-metode
Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Prima.
Lubis,
Mochtar. 1980. Teknik
Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti,
Suminto A.2000. Berkenalan
dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada,
Made.1987. Pembinaan
Kritik Sastra Indonesia: Masalah
Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989.
Teori dan
Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Langganan:
Postingan (Atom)