Analisis Cerpen Robohnya
Surau Kami
Latar
Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah
satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di
antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan
imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya
sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa
berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial,
politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang
pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat
miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada
di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan
permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan
oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu
akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang
tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka
jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai
karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang
diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan
ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen
dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk
dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika
cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami
mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A.
Navis.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis
tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan
(bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang
ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada
teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya
karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di
sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut
hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap
berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan
umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A.
Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan
kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin
Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah
Bahrum Rangkuti dalam Polemik
H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan
dalam cerpen Robohnya
Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya
cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen
A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab
kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam
kata pengantar Novel
Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum
pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa
mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan
pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya
khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian
itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan
akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena
pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan
menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat
menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna
hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur
kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen
(sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya.
Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau
mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu
sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS
(Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar
yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah
yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki
daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang
sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam
kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen
dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat
memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran
apresiasi sastra (cerpen).
Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba
mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?
2. Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan?
3. Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam
cerpen tersebut?
4. Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat
dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan
pemilihan bahan ajar itu efektif?
Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami
Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek
Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari
mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat
siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya
dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga
memaparkan sinopsis cerpen Robohnya
Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti
yang dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk.
Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin
dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang
itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain,
tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau
bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki,
apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah
pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan
bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja
karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk
anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang
dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang
mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung,
sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu
sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia
pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin
rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak
berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji
Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua
orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang
tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua
orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan
karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik
pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami itu sebagai berikut:
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan
gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang
mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti
ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami
sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari
mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin
cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor
enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan
neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan
pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud
kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca
KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya.
“Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah
salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali,
yaitu :
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta
di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga
masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya
itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya
A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan
dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh
pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi
yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat
merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang
kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf
kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian
diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a)
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini
dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah
? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam.
Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya,
ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah
bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas
tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat
marah.
(b)
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa
saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu.
Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang
di akhirat sana:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 –
13 ).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran
ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c)
Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan
diri pemakainya.
(d)
Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam
cerpen ini:
“…,
kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua,
sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu
mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu,
saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih
suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping
beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).
(e)
Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen
ini halaman 16.
”….
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan
kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu
kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis,
padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e)
menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat
itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang
amanat di atas.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk
melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu:
latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat
berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar
tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang
bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar
tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada
suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas
menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika
tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kebencian yang bakal roboh ………
Sekali
hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari
mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya
menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial
digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan
tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia,
pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial
yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui
kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang
banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,”
kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan
demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka
bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa
tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang
yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya
Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam
kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa
yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji
soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang
digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar
sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam
kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke
mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku
mengulangi hampa.
“ya.Dia
pergi kerja.”
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti
(2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang
lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan
konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot
itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang
terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang
menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita.
Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang
keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun
yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai
penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas
(ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan
terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya ….
Jika
Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya
…. (hlm. 8)
Berdasarkan data ini tampak jelas
bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi
ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan
bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu
pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam
cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai
dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas
pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu
sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan
yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan
biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh
alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau
bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
…
Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
(hlm. 8)
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi
konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si
Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan
pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik
pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang
ajar dia.” Kakek menjawab.
“
Kenapa ? “
“
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja
melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi
terhadapnya di hadapan tokoh
aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri
tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun,
segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa
ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya,
klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata
menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak
pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek
garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu
biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia
pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku
cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan
buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke
mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi
kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian
yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang
yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab?
Lalu di mana salahnya?
Jika
struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam
alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena
benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui
sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang
Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah
dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8).
Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni
bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A.
Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini
begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan
itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi:
“Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek
jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya
ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke
rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini
sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang
bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo
Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk
ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku
tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya.
Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang
diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku
yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data
ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c.
Si Kakek
Tokoh ini
agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya
istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh ini
adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir
orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan
karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan
gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri
sendiri.
6.
Titik Pengisahan
Yang
dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam
cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita
ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang
terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota
kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya
kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan
tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan
cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan
dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam
cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau
berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan
kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama
pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh
namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan
tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
Gaya
Gaya
merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara
pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara
pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan
kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata,
atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam
cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam
bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan,
beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain
ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat
dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru
di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini
sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau
keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak
tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah
menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang
keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini
tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam
kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan
kelompoknya.
Sedangkan
majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di
dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh
dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas
ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini
Selain
majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti
yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan
yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak
memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian
penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus
mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.
Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat
tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan
Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen
sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya
karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan,
dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti,
mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah
cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan
penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti
kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a. Dilihat dari segi bahasanya,
cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia,
yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan
katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b. Latar belakang budaya yang
ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam,
kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak
menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata
islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan
dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan
kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila
dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di
kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun
aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut.
Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan
lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari
satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.
Kesimpulan
Cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang
menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan
kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai
berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema
cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat
cerpen ini adalah :
1) jangan
cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat
baik,
3) jangan
terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu
miliki, dan
5) jangan egois.
c.
Latar
Latar yang
ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur
cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa
bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e.
Penokohan
Tokoh
dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji
Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin
tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka
membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan
lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah
mementingkan diri sendiri.
f.
Titik Pengisahan
Titik
pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang
Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam
cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak
jika dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh
siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk
dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih
sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya
yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang
budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria
ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu
pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen
tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif
ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan
minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan
pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu
membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian
mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita
itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk
cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya,
bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya
yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam
cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh
berkali-kali agar memahami isinya.
- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen
itu jika ada.
- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar
manfaat sastra bisa dirasakan
- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau
diskusi sastra di manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi.1999. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu,
J.S. 1979. Sari
Kesusasteraan Indonesia Jilid 2.
Bandung: Pustaka Prima.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode
Penelitian Seni Budaya Jakarta:
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten,
Mursal. 1984. Kesusastraan:
Pengantar teori dan sejarah. Bandung:
Angkasa.
Haryati,
A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip,
Satyagraha.1984. Cerita
Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat.
1997. Metode-metode
Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Prima.
Lubis,
Mochtar. 1980. Teknik
Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti,
Suminto A.2000. Berkenalan
dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada,
Made.1987. Pembinaan
Kritik Sastra Indonesia: Masalah
Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989.
Teori dan
Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar