Senin, 30 April 2012

Analisis Roman " Siti Nurbaya " Karya Marah Rusli


Analisis Novel "Siti Nurbaya" Karya Marah Rusli

Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai), adalah roman yang paling populer di antara roman-roman dan novel yang pernah terbit di Indonesia. Pengarangnya seorang sastrawan kelahiran Padang 7 Agustus 1889, Marah Rusli. Penulis fiksi Indonesia dengan gaya yang kuat. Romannya penuh dengan gagasan yang mendahului zaman dia hidup. Dia menggugat kekolotan kaum bangsawan, keburukan poligami, serta masalah-masalah sosial lain dalam lingkungannya guna melahirkan sebuah reformasi sosial. Buku ini pertama kali terbit tahun 1922 oleh Balai Pustaka. Karena popularitas buku ini, maka tahun-tahun awal terbinya disebut zaman Siti Nurbaya.

Pengarang ini telah menamatkan SD di Padang pada tahun 1904 dan menamatkan Sekolah Raja (Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910. Setelah tamat Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915, ia diangkat menjadi adjunct dokter hewan di Sumbawa Besar, kemudian (1916) menjabat Kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung, kemudian mengepalai daerah perhewanan di Cirebon. Tahun 1919 menjabat kepala daerah perhewanan di Blitar, tahun 1920 menjadi asisten leraar Kedokteran Hewan Bogor, tahun 1921 menjadi dokter hewan di Jakarta, tahun 1925 pindah ke Tapanuli. 

Sejak tahun 1929 sampai datang revolusi 1945 menjadi dokter hewan kotapraja Semarang. Selama revolusi tinggal di Solo, kemudian bekerja pada ALRI di Tegal. Tahun 1948 diangkat menjadi lektor di Fakultas Dokter Hewan Klaten dan dalam tahun 1950 kembali ke Semarang. Sejak tahun 1951 menjalani masa pensiun di Bogor, tetapi masih tetap menyumbangkan tenaganya di Balai Penelitian Ternak Bogor sampai akhir hayatnya.

Di samping profesinya sebagai dokter hewan, Marah Rusli terkenal pula sebagai sastrawan karena romannya yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai).
Siti Nurbaya adalah masterpiece Marah Rusli. Bisa dipastikan tidak satupun orang Indonesia modern yang tidak mengetahui roman setebal 271 halaman ini. Bahkan istilah Siti Nurbaya dicerap kedalam bahasa Indonesia keseharian sebagai majas yang merujuk pada bentuk perkawinan yang dipaksakan. Bahkan di Padang, sosok Siti Nurbaya dihadirkan secara riil melalui penamaan sebuah jembatan dan sebuah makam yang diyakini adalah makam tokoh roman yang bersangkutan.

Siti Nurbaya telah hadir di sekolah-sekolah sejak pertama diterbitkan tahun 1920 oleh Balai Pustaka. Isinya tentang kisah cinta melodramatis antara Siti Nurbaya & Syamsul Bahri. Namun orang tua Siti Nurbaya memilih menikahkan anaknya dengan Datuk Maringgih. Roman ini dipadu kuat dengan kritik sosial pengarang terhadap situasi adat yang mengungkung Kemerdekaan Perempuanhttp://www.assoc-amazon.com/e/ir?t=mcf0b-20&l=as2&o=1&a=9794596728 di zaman itu. Marah Rusli kemudian wafat 17 Januari 1968.
Di Padang, Siti Nurbaya  hadir seperti sosok riil. Ada jembatan atas namanya, ada pula makam lengkap dengan cungkup dan kelambunya. Yang menarik beberapa lama setelah roman itu lahir terjadi perubahan dalam masyarakat Minangkabau terutama berkaitan dengan kawin paksa. Roman ini kemudian menjadi counter culture, yang mengejek setiap orang tua ketika hendak memaksa anak perempuannya kawin dengan perjodohan paksa: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Bahkan 80 tahun kemudian Dewa 19 pernah membuat lagu berjudul “Cukup Siti Nurbaya” yang juga terinspirasi oleh roman Siti Nurbaya.

“Roman Siti Nurbaya berkisah tentang percintaan melodramatis Siti Nurbaya dengan Samsul Bahri. Namun orang tua Siti tak menyetujui. Siti pun menikah dengan Datuk Maringgih orang tua kaya berhati licik. Siti akhirnya meninggal diracun anak buah Datuk Maringgih. Syamsul pun mati. Siti Nurbaya menarik karena roman ini mampu membangun pemahaman baru akan kegelisahan perempuan terhadap adat dan kebudayaan yang mencengkram mereka. Cerita ini sekaligus menggambarkan pengorbanan perempuan Siti Nurbaya  untuk kedua orangtuanya dengan menikahi Datuk kaya demi melunasi hutang orang tuanya.” (tempo)

Bagi yang tidak pernah membaca roman ini secara utuh, menganggap bahwa kisah Siti Nurbaya adalah kisah kawin paksa. Yang sebenarnya adalah terpaksa kawin. Siti Nurbaya terpaksa kawin dengan seorang dengan datuk Maringgih demi membayar hutang orangtuanya.
Kisahnya, Siti Nurbaya dan Samsulbahri sejak kecil sudah berteman bahkan satu sekolah karena rumah mereka berdekatan. Ketika tumbuh menjadi remaja, di antara keduanya tumbuh rasa saling mencintai. Hubungan dua remaja ini mendapat restu dari orangtua kedua belah pihak. Kemudian Samsulbahri melanjutkan studinya di Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.

Sementara itu, ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman, mengalami kebangkrutan dalam usaha perdagangannya. Karena itu, ia terlilit hutang pada Datuk Maringgih, seorang lanjut usia nan kaya tapi sangat kikir. Dengan segala cara Datuk Maringgih menagih piutangnya pada Baginda Sulaiman, namun tidak bisa dibayar. Karena tidak bisa membayar hutang, Baginda Sulaiman diminta untuk menyerahkan anaknya Siti Nurbaya untuk menikah dengan Datuk Maringgih.Siti Nurbaya pun terpaksa dinikahi si kakek Datuk Maringgih.

Suatu hari, Samsulbahri mudik dari Jakarta. Ia pulang berlibur ke kampungnya di Padang. Ia sudah tahu kalau Siti Nurbaya sudah menikah dengan si kakek Datuk Maringgih. Namun ia berusaha untuk bisa bertemu dengan mantan kekasihnya Siti Nurbaya. Maka keduanya melakukan pertemuan secara rahasia dan akhirnya diketahui oleh Datuk Maringgih. Akibatnya, terjadi pertengkaran. Mendengar kejadian itu, ayah Samsulbahri yang kebetulan seorang penghulu di Padang, merasa telah dipermalukan oleh anaknya. Samsulbahri kemudian diusir untuk kembali ke Jakarta. Mengetahui Samsulbahri telah kembali ke Jakarta, Siti Nurbaya secara diam-diam menyusulnya. Namun tindakan itu diketahui Datuk Maringgih melalui kaki tangannya. Dengan berbagai fitnah dan memperalat polisi, kaki tangan Datuk Maringgih berhasil membawa pulang Siti Nurbaya ke rumah Datuk.

Akibat tidak tahan dengan kenyataan hidupnya sebagai suami Datuk Maringgih, Siti Nurbaya kemudian mati setelah memakan lemang beracun yang sengaja dijajakan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Berita kematian itu sampai juga ke telingan Samsulbahri. Karena kecewa dan putus asanya, Samsulbahri mencoba bunuh diri namun tidak berhasil. Namun, ia harus meninggalkan bangku sekolahnya di Jakarta dan masuk dinas militer. 
Pada suatu waktu, terjadi kerusuhan di Padang karena banyaknya rakyat yang tidak mau membayar pajak yang ditagih pemerintah Belanda. Untuk mengatasi kerusuhan itu, pemerintah Hindia Belanda mengutus pasukan pengamanan dari Jawa, sehingga terjadi pertempuran sengit. Ternyata pemberontakan itu didalangi oleh Datuk Maringgih. Tak disangka, Datuk Maringgih bertemu dengan Samsulbahri yang berpangkat dan nama Letnan Mas. Samsulbahri berhasil menembak Datuk Maringgih. Sialnya, sebelum Datuk Maringgih meregang nyawa, ia sempat menebas Letnan Mas sehingga harus dirawat di rumah sakit. Dalam perawatan itu, Letnan Mas meminta dokter agar memanggil Penghulu Kota Padang bernama Sutan Mahmud Syah. Di rumah sakit, Letnan Mas menceritakan riwayatnya lalu menghembuskan nafas terakhir.
Setelah meninggal, Sutan Mahmud Syah baru tahu kalau Letnan Mas sebenarnya adalah anaknya, Samsulbahri. Karena kesal dan sedih, pada beberapa hari kemudian Sutan Mahmud Syah meninggal dunia.

Buku yang berjudul Siti Nurbaya ini berhasil menempatkan diri sebagai puncak roman di antara roman-roman lain yang dianggap orang sebagai puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi berdasarkan pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini menggunakan bahasa melayu. Oleh karena itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan segera mengerti isinya. Karena terkenalnya sampai-sampai zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya.

Roman karyanya ini berhasil pula merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969.

Dalam karya-karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelaku utamanya pada roman ini adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih.

Membaca roman Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsulbahri.
Pengarang mengajak kita untuk memetik beberapa nilai moral dari romannya yang terkenal ini, antara lain :

- Demi orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan tersebut demi orang tuanya.

- Bila asmara melanda jiwa seseorang maka luasnya samudra tak akan mampu menghalangi jalannya cinta.

Demikianlah cinta yang murni tak akan padam sampai mati. 

- Bagaimanapun juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga.

- Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.

- Dan kebenaran sesungguhnya di atas segala-galanya.

- Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir dari persoalan hidup. 
Tetapi yang saya sayangkan adalah novel ini seringkali dijadikan bahan untuk menyerang konsep dalam Islam yang memperbolehkan poligami, padahal jika kita pikir dengan akal sehat sebelum datangnya Islam seorang laki-laki apalagi yang memiliki kedudukan tinggi (bangsawan) biasanya memiliki banyak selir, bahkan raja-raja di Tiongkok ada yang memiliki lebih dari seribu selir. Islam justru mengatur masalah-masalah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar