Kamis, 05 Juli 2012

BEBERAPA CABANG ILMU LINGUISTIK

BEBERAPA CABANG ILMU LINGUISTIK Tulisan ini akan menguraikan cabang ilmu linguistik secara garis besar, yang meliputi fonetik dan fonologi, morfologi sintaksis dan semantik. Disamping itu juga dibahas ilmu inter disipliner dari linguistik ini. A. Bidang-bidang Linguistik Memang setiap ilmu pengetahuan meliputi bahan yang luas sekali, dan demi alasan praktis para ahli suka membagi ilmunya menjadi berbagai bidang bawahan atau cabang ilmunya. Demikian pula ilmu linguistik lazimnya dibagi menjadi bidang bawahan yang bermacam-macam. Misalnya saja, ada linguistik antropologis, yang cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan oleh para ahli antropologi budaya; ada juga linguistik sosialogis, atau (lebih lazim) sosiolinguistik, untuk meneliti bagaimanakah dalam bahasa itu dicerminkan hal-hal sosial dalam golongan penutur tertentu. Dewasa ini semakin berkembanglah apa yang disebut lingistik komputasional, yaitu penelitian linguisti dengan bantuan komputer. Akan tetapi, bidang-bidang bawahan tadi semuanya mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasarinya. Bidang yang mendasari itu adalah bidang yang menyangkut struktru-struktur dasar tertentu, yaitu: struktur bunyi bahasa, yang bidangnya disebut “fonetik” dan “fonologi”; struktur kata, yang namanya “morfologi”; struktur antar-kata (sintaksis): dan keduanya dibedakan dengan “leksikon” atau perbendaharaan kata. Penelitian “leksikon” itu disebut “leksikologi”. Di antara bidang-bidang “dasariah” tadi dibedakan juga antara linguistik “sinkronik” dan lingistik “diakronik”. Misalnya, penelitian singkronik tentang bahasa Indonesia menangani kaidah bahasa Indonesia pada zaman sekarang. Sebaliknya, penelitian diakronik (atau “historis”) memaparkan tentang “sejarah” bahasa. Sebagai contoh perhatikanlah bentuk pun dalan bahasa Indonesia. Bentuk tersebut memenuhi fungsi-fungsi tertentu dalam bahasa Indonesia modern, dan penelitian terhadap fungsi tersebut adalah peneltian “Singkronik”. Sebaliknya, dalam bahsa Melau Klasik, bentuk kecil (atau “Partikel”) pun yang “sama” agak lain fungsinya, seperti dapat dibuktikan oleh penelitian “diakronik” Hanya cabang-cabang lingistik yang “dasariah” itulah yang dibahas dalam buku ini. B. Fonetik dan Fonologi Tuturan bahasa terdiri atas bunyi yang agak berbeda-beda menurut bahasa tertentu. Bunyi tersebut diselidiki oleh fonetik dan fonologi. Fonetik meneliti bunyi bahsa menurut cara pelafalannya, dan menurut sifa-sifat akustiknya. Berbeda dengan fonologi, ilmu fonologi meneliti bunyi bahsa tertentu menurut fungsinya. Misalnya saja, bunyi {p}-lazimnya bunyi menurut sifat fonetisnya diapit antara kurang persegi dalam bahasa Inggris dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya sehingga udara keluar dengan “meletup”. Deskripsi seperti itu adalah deskripsi fonetis. Deksripsi yang demikian dapat disempurnakan lebih terinci. Misalnya, dalam kata (Inggris) pot, [p¬h]-nya “beraspirasi”, artinya disusul bunyi seperti bunyi “letupan” pada awal kata; akan tetapi dalam kata spot, [p]-nya tidak “beraspirasi” demikian” (karena tidak merupakan satu-satunya ‘konsonan” pada awal kata). Perbedaan tersebut adalah perbedaan fonetis semata-mata, tidak fonologis. Dua bunyi yang secara fonetis berbeda dikatakan mempunyai perbedaan fonologis bila perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan makna antara dua kata. Misalnya saja, dalam bahasa Indonesia [l) dan [r] berbeda secara fungsional, atau secara fonologis, karena membedakan kata seperti dalam pasangan rupa; lupa. Maka untuk bahasa Indonesia /l/ dan /r/ merupakan “fonem” yang berbeda (lazimnya, lambang fonem diapit antara garis miring). Sebaliknya, dalam bahasa Jepang, (l) dan [r] tidak pernah membedakan kata-kata yang berbeda; atau, dengan perkataan lain, tidak bebeda secara fonologis, tidak merupakan fonem yang berbeda. C. Morfologi Ilmu morfologi menyangkut struktur “internal” kata. Beberapa contoh akan menjelaskan hal itu. Perhatikanlah kata seperti tertidur. Kata ini terdiri atas dua “morfem”, yakni ter-dan tidur (ter-diberi garis karena tidak pernah berdiri sendiri). Jadi kata tertidur mempunyai struktur “internal” dengan bagian-bagianya ter-tidur. Penganalisisan seperti itu disebut “morfologi”. Kata tidur itu sendiri terdiri atas satu morfem saja, yaitu tidur. Perhatikanlah juga kata Inggris comfort; satu morfem saja. Kata Compfort-able terdiri atas dua morfem. D. Sintaksis Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut susunan kata-kata di dalam kalimat. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia kalimat “Kami tidak dapat melihat pohon itu”, urutan katanya sudah tentu tidak mungkin kita tuturkan “kalimat” seperti *Pohon itu dapat kami tidak melihat (binatang kecil, atau “asterik”, pada awal melambangkan tidak “beresnya” “Kalimat” seperti itu). Demikian pula, urutan kata dalam “kalimat” Inggris seperti *we not tree that see can menyalahi aturan-struktur yang sesuai adalah we cannot see that tree. Morfologi dan sintaksis bersama-sama termasuk “tatabahasa. Maka dari itu hal-hal yang dipaparkan sampai sejauh ini sudah menunjukkan adanya suatu “hierarki”, Bagai 1. Hierarki struktur bahasa Fonetik ditempatkan paling bawah, karena hanya menyangkut bunyi bahsa dari sudut “fisik”. Fonologi membedakan fonem-fonem dalam bahasa tertentu, dan masing-masing fonem membedakan kata-kata menurut artinya (seperti dalam hal rupa : lupa tadi). Jadi fonologi sungguh-sungguh termasuk struktur bahasa, dan bersifat “fungsional”, namaun tidak termasuk tatabahasa. Akhirnya, pada bagian paling atas dalam hierarki ini, dapat kita tempatkan tatabahasa, dan di dalam tatabahasa itu yang paling atas adalah sintaksis, dengan morfologi di bawahnya. E. Leksikologi Istilah “leksikon” dalam ilmu linguistik bearti perbendaharaan kata-kata itu sendiri sering disebut “leksem”. Cabang linguistik yang berurusan dengan leksikon itu disebut “leksikologi”. Istilah “ leksikologi” agak jarang dipakai, karena urusan utama para ahli leksilologi” agak jarang dipakai, karena urusan utama para ahli leksikologi adalah penyusunan kamus, dan penyusunan kamus disebut “ leksikografi”. Leksikografi itu tidak lain adalah bentuk “terapan dari leksikologi. Setiap bahasa mempunyai perbendaharaan kata yang cukup besar, meliputi puluhan ribu kata. Setiap kata mempunyai arti, atau makna, sendiri, dan urusan leksikografi tidak lain adalah pemerian arti masing-masing leksem. Leksikologi jelas berhubungan leksikon dengan struktur fonologi itu, ada beberapa segi yang menarik perhjatian, tetapi disini akan disebutkan satu saja. Bandingkan leksem-leksem Inggris meat dan flesh. Perbendaan kedua leksem tersebut dapat dijelaskan sebagai beriktu; apa yang dirujuk dengan kata meat dapat dimakan, apa yang dirujuk dengan kata flesh tidak. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia kedua-duanya termasuk leksem daging, atau dalam leksem Belanda vlees. Jadi, yang dibedakan dalam bahasa Inggris adalah menurut “mungkin tidaknya dimakan”, sedangkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda tidak ada perbedaan dalam hal itu. Contoh sederhana ini menunjukkan adanya sistem leksikal yang lebih berbelit-belit dalam bahasa tertentu bila dibandingkan dengan bahasa tertentu yang lain. F. Semantik Semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Contoh jelas dari perian atau “deskripsi” semantis adalah leksikografi: masing-masing leksem diberi perian artinya atau maknanya; perian semantis. Di pihak lain, semantik termasuk tatabahasa juga. Contohnya adalah morfologi. Dalam bentuk (Inggris) un-comfort-able, morfem un- jelas mengandung arti “tidak”; uncomfortable artinya sama dengan not comfortable. Demikian pula, bentuk Indonesia memper-table mengandung morfem memper-, yang artinya boleh disebut “kausatif”; maksudnya, mempertebal artinya ‘menyebabkan sesuatu menjadi lebih tebal’ (perian makna dalam ilmu linguistik lazim dilambangkan dengan mengapitnya antara tanda petik tunggal). Di dalam sintaksis ada pula unsur semantis tertentu. Analisislah kalimat saya membangun rumah. Saya disebut “subjek”, dan subjek itu adalah ‘pelaku’ kegiatan terntentu (yaitu membangun). Sebaliknya, rumah (dalam kalimat tadi) “menderita” kegiatan membangun, dan boleh disebut ‘penderita’. Jadi makna tertentu pasti ada dalam sintaksis, meskipun tentunya bukan makna leksikal; makna itu disebut “makna gramatikal”. G. Pragmatik Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara punutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Disini hanya satu dua contoh saja memadai. Perhatikanlah kalimat Inggris John went home and had a snack. Di sini ada dua klausa: John went home, dan John had a snack. Kedua klausa tersebut digabungkan menjadi satu kalimat. Catatlah bahwa “subjek” John dalam klausa kedua dihilangkan. Dalam analisis linguistik pelesapan subjek itu sering dilambangkan dengan simbol- (angka nol tembus garis miring), sehingga kalimat tadi dapat diberi bentuk John went home and-had a snack. Subjek kedua menjadi “nol” karena tidak dibutuhkan oleh pendengar untuk mengerti apa yang dituturkan. Dengan perkataan lain, subjek kedua dilesapkan demi kemudhan komunikasi. Demikian pula dalam kalimat Indonesia suryanto pulang dan-mengambil makanan kecil. Daripada melesapkan subjek kedua kita dapat juga memakai he atau dia dalam kalimat-kalimat tadi : [Ɵ] and he had a snak, dan [Ɵ] dan dia mengambil makanan kecil. (titik-titik yang diapit antara kurang persegi sering dipakai untuk menghilangkan sebagaian dari suatu teks) he dan dia mengacu pada john, dan hal itu dimengerti oleh pendengar karena john telah disebut terlebih dahulu, yaitu John. Kebutuhan komunikasi dan pengacuan termasuk juga dalam struktur bahasa, dan struktur tersebut dapat agak berbeda-beda dalam bahasa-bahasa yang berlainan. H. Linguistik Sinkronik dan Linguistik Diakronik Kedua istilah itu berasal dari Ferdinand de Saussure. Pada abad ke 19 hampir seluruh bidang linguistik merupakan linguistik historis, khususnya menyangkut bahasa –bahasa Indo-Eropa. Yang diteliti pada zaman itu adalah, misalnya, bagaimanakah bahasa Yunani Kuno dan bahasa Latin menunjukkan keserupunan. Hal tersebut ditemukan berkat penelitian tentang bahasa sanskerta. Pada abad itu diteliti pula bagimanakah rumpun bahasa-bahasa german (seperti bahasa jerman, bahasa belanda, bahasa inggris, dan bahasa-bahasa skandinavia) salaing berbuhungan secara historis; dan bagaimanakah bahasa-bahasa Roman (seperti bahasa Prancis, bahasa Oksitan, bahasa Spanyol, bahasa Portugis, dan lain sebagainya) diturunkan dari bahasa latin. Dalam bukunya Cours de linguistique generale, de saussure menganjurkan suatu studi bahasa yang tidak hanya meneliti hal-hal yang historis (“diakronik”, istilahnya), tetapi juga “struktur” bahasa tertentu tanpa memperhatikan segi diakroniknya-penelitian baru itu dinamainya “sinkronik”. Secara sinkronik, umpamanya, kita dapat bertanya bagaimana sekarang ini hubungan antara awalan ber- dan men-, tanpa memperdulikan tentang awalan yang dulu (dalam bahasa melayu kuno) pernah menjadi sumber dari kedua awalan tersebut, yaitu awalan mar-, demikian pula, untuk bahasa Inggris bila diteliti secara sinkronik, tidak perlu dihiraukan tiadanya akhiran untuk ajektiva, meskipun ada banyak akhiran yang demikaian dalam bahasa Inggris kuno, sebelum tahun 1000 Masehi. Dalam buku ini hanya linguistik sinkronik saja yang dipaparkan, sebagai persiapan untuk mengadakan penelitian tentang bahasa Indonesia dan bahasa lainnya yang belum punah. Meskipun demikian, di sana-sini akan diberikan beberapa contoh pula dari bahsa-bahasa yang sudah punah, tetapi juga dari sudut singkronik, yaitu tanpa memperhatikan sejarahnya sebelumnya. Akan tetapi perlu disadari bahwa linguitik diakronik itu penting juga. Misalnya saja, bila kita tahu tatabahasa bahasa Melayu Kuno, akan lebih mudahlah bagi kita untuk membuka persepektif baru untuk penelitian bahasa Indonesia yang sekarang. I. Linguistik Teoritik Banyak ilmu biasanya dibedakan menurut aspek teoritiknya dan manfaatnya secara paraktis. Misalnya, ilmu psikologi meneliti pengalaman manusia menurut perkembangannnya, emosinya, perasaanya, wataknya, hubungannya dengan sesama manusia, dan lain sebagainya. Dalam bidang kaunseling, pesikologi “diterapkan” pada persoalan konkrit, dan disebut psikologi terapan. Di atas sudah disebut bahwa bidan leksikologi, yaitu penelitian sematis tentang perbendaharaan kata, dapat dimanfaatkan tuntuk “leksilografi” atau penyusunan kamus. Dengan demikian leksikografi dapat disebut leksikologi terapan. Demikian pula, pengetahuan dan penguasaan bidang linguistik banyak sekali manfaatnya untuk pengajaran bahasa, misalnya, mengapa orang indonesia mengalami kesulitan dalam berbagai hal, bila belajar bahasa Inggris? Salah satu contoh kesulitan itu adalah pemakainan kata sandang (atau “artikel”) Inggris the. Pengajar bahasa Inggris di Indonesia akan memahami kesulitan itu dengan lebih baik bila ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang “kedefinitan” dalam bahasa Indonesia dan dalam baghasa Inggris. Maka pemanfaatan pengetahuan linguistik dalam pengajaran bahasa asing adalah salah satu bentuk linguistik. Dewasa ini linguistik juga dimanfaatkan untuk penyusunan program-program komputer, seperti terjemahan dengan bantuan komputer. (Disunting dari :J.W.M Verhaar)

EVALUASI PEMBELAJARAN

EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA A. Pengertian Evaluasi Pengertian evaluasi dalam arti luas, adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternative-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978:5). Sesuai dengan pengertian tersebut maka setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sangat direncanakan untuk memperoleh informasi atau data; berdasarkan data tersebut kemudian dicoba membuat suatu keputusan (Ngalim P, 1990: 3). Dalam hubungannya dengan kegiatan pengajaran, Norman E. Gronlund (1976) merumuskan pengertian evaluasi sebagai berikut : “ Evaluation…a systematic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupils “. ( Evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan sampai sejauh mana tujuan-tujuan pengajaran telah dicapai oleh siswa ). Dari rumusan tersebut di atas sedikitnya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk lebih memahami evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran, yaitu ; 1. Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Artinya bahwa evaluasi (dalam pengajaran ) merupakan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan. Evaluasi bukan hanya kegiatan di akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan merupakan kegiatan yang dilakukan pada permulaan selama proses berlangsung, dan pada akhir program setelah program itu dianggap selesai. 2. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut objek yang sedang dievaluasi. Dalam bidang pengajaran data yang dimaksud bias berupa perilaku siswa selama mengikuti pelajaran, hasil ulangan atau tugas-tugas pekerjaan rumah, nilai akhir catur wulan/semester, nilai mid semester, nilai ujian akhir sekolah, dan sebagainya. 3. Setiap kegiatan evaluasi, khususnya evaluasi pengajaran tidak dapat dilepaskan dari tujuan-tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Tanpa merumuskan atau menentukan tujuan terlebih dahulu, tidak mungkin kita dapat memberikan suatu penilaian sejauh mana pencapaian hasil belajar siswa dapat diketahui. B. Tujuan Evaluasi dalam Pengajaran Dengan evaluasi hasil belajar-mengajar, kita dapat mengetahui kemajuan prestasi belajar siswa, dapat mengetahui efesiensi metode, teknik dan alat bantu yang digunakan, mengetahui siswa mana saja yang belum menguasai materi yang disampaikan dalam ptroses belajar mengajar, serta mengetahui siswa mana yang perlu mendapat perbaikan dan himbingan dalam belajarnya. C. Fungsi Evaluasi dalam Pengajaran Adapun fungsi evaluasi dalam pembelajaran adalah (1) sebagai umpan balik dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, artinya umpan balik bagi guru sehingga merupakan dasar memperbaiki proses belajar siswa dan mengajar guru, (2) untuk mengetahui, mengukur, dan menentukankemajuan prestasi belajar siswa. Data ini dapat dijadikan dasar laporan kepada orang tua siswa sehingga ia mengetahui kemajuan/prestasi putra putrinya, (3) untuk mencari data tentang tingkat kemampuan siswa, bakat, dan minat yang mereka miliki. Hal ini membantu siswa agar dapat ditempatkan pada situasi belajar yang lebih tepat baginya yang sesuai dengan bakat dan minatnya, misalnya untuk penentuan program pilihan atau penjurusan, dan (4) untuk mengetahui latar belakang siswa tertentu yang memerlukan bantuan khusus karena mengalami kesulitan belajar. D. Jenis-jenis Evaluasi dalam Pengajaran Sesuai dengan tujuan dan fungsi evaluasi di atas, jenis-jenis evaluasi pengajaran dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Evaluasi / Tes Formatif Evaluasi ini dilakukan pada setiap akhir satuan pelajaran yang fungsinya untuk memperbaiki proses belajar mengajar atau memperbaiki program satuan pelajaran. Evaluasi ini dilakukan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung secara kontinyu. Evaluasi ini dilakukan dengan maksud untuk mengukur tercapai tidaknya TIK, juga untuk mengetahui tentang ketuntasan belajar siswa yang telah mencapa setidak-tidaknya 75 % dari tujuan yang telah direncanakan. Dan bagi siswa yang belum mencapai taraf penguasaan selanjutnya diberikan bantuan khusus melalui program remedial teaching, dengan cara ; a. Menghitung persentase jawaban yang benar yang dicapai setiap siswa dalam tes secara keseluruhan, guna mengetahui sampai berapa jauh penguasaan setiap siswa terhadap bahan ajar yang telah dikuasainya, dengan kriteria belajar tuntas sekurang-kurangnya mencapai 75 %. Dengan demikian guru dapat mempertimbangkan apakah siswa tersebut perlu mendapat bantuan khusus dalam mengatasi kesulitan belajarnya. Untuk menghitung persentase tersebut dapat digunakan rumus sebagai berikut : Jumlaj jawaban soal yang benar X 100 % Jumlah soal seluruhnya b. Mengetahui persentase penguasaan kelas atas bahan yang telah disajikan. Dengan kata lain berapa perswenkah bahan ajar yang telah disajikan itu dapat dikuasai oleh siswa. Cara pengolahan ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan, apakah kriteria keberhasilan belajar yang diharapkan telah tercapai. Ini berguna bagi guru untuk mengukur dirinya sendiri, jika keberhasilan siswa keseluruhan dalam kelas mencapai 75 %, ini berarti terdapat keberhasilan bagi guru tersebut. Namun jika sebaliknua, jika tingkat keberhasilan mencapai kurang dari 75 %, maka guru tersebut kurang berhasil dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Dengan demikian guru dapat mencari sebab-sebab terjadi kegagalan dalam proses belajar mengajarnya. Untuk menghitung persentase penguasaan siswa atas bahan yang telah disajikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut : Jumlah persentase jawaban yang benar yang dicapai setiap siswa dalam tes keseluruhan X 100 % Jumlah siswa yang mengikuti tes c. Menghitung angka persentase siswa yang gagal dalam setiap soal. Dengan melihat angka persentase ini guru akan dapat mengetahui sejauh mana TIK yang bersangkutan dengan soal yang dibuat dapat dikuasai oleh siswa. Atas dasar angka persentase siswa yang gagal dalam setiap soal, guru dapat mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang bersangkutan dengan soal tes perlu diulangi lagi secara umum atau tidak. Untuk menghitung angka persentase tersebut dapat digunakan rumus sebagai berikut : Banyaknya siswa yang gagal atas suatu soal X 100 % Jumlah siswa yang mengikuti tes 2. Evaluasi Subsumatif dan Siumatif Evaluasi subsumatif dilakukan setelah beberapa satuan bahasan selesai diajarkan kepada siswa. Pelaksanaan kegiatan subsumatif ini dapat dilakukan pada perempat semester/caturwulan atau pada pertengahan semester/catur wulan yang lazim kita sebut dengan istilah midsemester. Atau bila perlu setiap dua atau tiga satuan bahasan selesai diberikan kepada siswa, hal ini bergantung pada kebutuhan, scope dan sequence dari materi pelajaran itu sendiri. Nilai evalusi subsumatif ini diperuntukkan bagi kenaikan kelas setiap siswa, yang dilakukan tiap akhir semester/caturwulan setelah siswa menyelesaikan program belajar dari suatu bidan waktu tertentu pula.g studi selama satu periode Seorang siswa dikatakan berhasil dalam satu bidang studi atau mata pelajaran, apabila memperoleh nilai akhir sekurang-kurangnya 6,0 (enam koma nol) atau sesuai dengan KKM (kriteria ketuntasan minimal). 3. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Evaluasi belajar tahab akhir merupakan kegiatan evaluasi yang dilaksanakan pada akhir tahun pelajaran dalam rangka mengakhiri program pendidikan pada suatu lembaga pendidikan. Evaluasi ini dilaksanakan baik tertulis, lisan, maupun secara praktik, yang dilaksanakan secara serentak di sekolah-sekolah yang sejenis yang pelaksanaannya diatur oleh pemerintah. Bahan yang dievaluasikan mulai dari materi kelas I sampai kelas III menurut kurikulum yang berlaku saat itu, sesuai dengan komposisi bahan ajar masing-masing mata pelajaran. Hasil evaluasi ini sebagai penentu setiap siswa apakah mereka berhasil atau tidak, dengan kata lain apakah mereka lulus atau tidak. Keberhasilan dari lembaga itulah yang menentukan kualitas/mutu sekolah atau lembaga pendidikan tersebut. Dan bentuk soal yang disajikan/diujikan tentunya dibuat oleh guru mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan. 4. Evaluasi Belajar Tahab Akhir Nasional (EBTANAS) Sampai saat ini pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir nasional masih sangat relevan, walaupun dengan istilah yang berbeda, dengan maksud untuk pelaksanaan pendidikan, dengan tujuan : a. Menciptakan standar nasional dalam kualitas pendidikan dasar dan menengah, mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di seluruh tanah air. b. Mengetahui secara nasional ketercapaian tujuan kurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah dalam lingkungan Ditjen Dikdasmen sehimgga proses belajar mengajar dilaksanakan berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan. c. Menyederhanakan prosedur seleksi penerimaan murid/siswa baru (PMB/PSB) pada sekolah yang lebih tinggi sehingga baik SMTP maupun SMTA tidak perlu mengadakan tes seleksi masuk bagi calon siswanya, tetapi cukup mengadakan penerimaan dengan melihat NEM aslinya, sehngga diranking semua pendaftar untuk ditentukan berapa passing grade atau batas terendah NEM yang diterima sekolah yang bersangkutan. E. Perencanaan Evaluasi Dalam merencanakan penyusunan tes hasil belajar (achievement test) diuperlukan adanya langkah-langkah yang harus ditempuh secara sistematis sehingga diperoleh tes yang betul-betul tepat (valid) sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai dengan tuntutan kurikulum sebagai aspek tingkah laku yang menjadi sasaran penilaian. Adapun langkah-langkah yang dimaksud meliputi kegiatan sebagai berikut : BAGAN LANGKAH-LANGKAH DALAM KONSTRUKSI TES 1. Analisis Kurikulum Adapun yang perlu dianalisis adalah : a. Aspek tujuan yang meliputi tujuan instruksional dan tujuan kurikuler, yang akan mempengaruhi bentuk tes yang akan dibuat. b. Pokok bahasan/sub pook bahasan yang akan dijadikan bahan uji dalam tes tersebut, yang akan mempengaruhi bentuk, tingkat kesukaran, maupun jumlah serta proporsi soal yang akan dibuat. 2. Analisis Buku dan Sumber Materi Pelajaran (Timbangan Buku) Perlunya analisis buku atau timbangan buku pelajaran ini adalah : a. Menetapkan materi atau bahan ajar yang dijadikan sumber pembuatan soal. b. Menentukan kedalaman dan urutan (skope & sequence) materi tes yang mempengaruhi tingkat kesukaran soal tes. c. Pembuatan soal tidak menyimpang dari materi yang dipelajari oleh siswa. 3. Menentukan atau Merumuskan Tujuan Tes Dalam perencanaan evaluasi ini perlu ditetapkan tujuan apa yang akan dijadikan sasaran dalam pelaksanaan penilaian, karena tujuan tersebut akan mementukan jenis tes atau penilaian yang akan dilaksanakan. 4. Menentukan dan Menyususn Kisi-Kisi Pembuatan dan penyusunan kisi-kisi (lay out test) perlu dilakukan agar materi tes agar betul-betul sesuai dengan materi pelajaran atau satuan bahasan, aspek intelektual, bentuk soal, serta jumlah dan proporsi soal. Kisi-kisi merupakan peta penyebaran soal yang didasarkan pada pokok bahasan atau sub pokok bahasan, ruang lingkup, jenjang kemampuan yang diukur, bentuk soalmaupun tingkat kesukarannya. 5. Penulisan Soal Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan soal adalah ; (a) buatlah soal sesuai dengan kisi-kisi yang telah ditentukan agar tidak menyimpang dari tuntutan kurikulum, (b) buatlah petunjuk cara mengerjakannya, agar dapat dipahami oleh siswa (teste) dengan baik, (c) untukmemudahkan memeriksa hasil evaluasi, perlu disiapkan kunci jawaban, terutama bagi orang lain yang akan memeriksanya, (d) susunlah standar atau norma penilaian yang akan dijadikan sebagai patokan atau penskoran nilai, dan (e) gunakan format penulisan butir soal yang baik dan baku. 6. Reproduksi Soal Dalam mereproduksi/menggandakan soal haruslah tetap dijaga kerahasiaannya jangan sampai ada pihak-pihak tertentu yang akanmemanfaatkan kesempatan sehingga terjadi kebocoran, ebab apabila terjadi kebocoran maka tidak ada artinya lagi untuk dilaksanakan evaluasi. 7. Uji Coba Tes Sebagai langkah terakhir dalam pelaksanaan evaluasi adalah uji coba tes, yang dilakukan terhadap sampel di luar siswa yang akan di tes, agar tidak terjadi kebocoran. Hasil dari uji coba ini kemudian dianalisis agar kelemahan-kelemahan setiap soal tersebut dapat disempurnakan. Setelah uji coba ini selesai dilakukan barulah soal siap untuk diberikan melalui evaluasi kepada testee. F. Penyusunan Soal Dalam penyusunan soal atau konstruksi soal perlu diperhatikan hal sebagai berikut 1. Pilihan ganda, adalah salah satu bentuk dari jenis tes objektif yang terdiri atas pokok soal (stem) yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan dari sejumlah jawaban (option), dengan criteria sebagai berikut : (1) melengkapi pilihan, (2) hubungan antarhal, (3) tinjauan kasus, (4) asosiasi pilihan ganda, (5) membaca diagram 2. Bentuk Soal Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Soal Non Objektif (BUNO), adalah suatu soal yang menuntut jawaban dari siswa untuk mengingat, mengorganisasikan gagasan atau hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut secara tertulis dengan menggunakan kata-kata sendiri. Kriteria penilaian bentuk soal seperti ini nbiasanya adalah : (1) kemampuan mengingat, (2) memahami, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mensinestesia, dan (6) menilai G. Teknik Analisis Item Tes Teknik analisis item tes dilakukan dengan tujuan untuk memberikan gambaran seperlunya pengenai pengolahan hasil tes yangdapat kita laksanakan dengan dua criteria pendekatan, yaitu Pendekatan Kriteria Mutlak dan Pendekatan Ukuran Norma Kelompok. Hal ini dilakukanj bila siswa dituntut kan kriteria untuk menguasai bahan pengajaran seluruhnya. Pengolahan skor mentah dengan skala nilai 0 – 10 yang berdasakan kriteria mutlak dengan menggunakan rumus sebagai berikut, yaitu Skor riil yang diperoleh siswa dibagi dengan skor ideal atau skor maksimum yang mungkin dicapai, kemudian hasil bagi ini dikalikan 10. NR NA = ------------ X 10 NI Referensi : Hamalik, Umar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Bandung. Purwanto, Ngalim M. 1997. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Uzer Usman, Muh. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung .

TEORO LINGUISTIK

TEORI LINGUISTIK Linguistik berarti ilmu bahasa. Ilmu bahasa adalah ilmu yang objeknya bahasa. Bahasa di sini maksudnya adalah bahasa yang digunakan sehari-hari (atau fenomena lingual). Karena bahasa dijadikan objek keilmuan maka ia mengalami pengkhususan, hanya yang dianggap relevan saja yang diperhatikan (diabstraksi). Jadi yang diteliti dalam linguistik atau ilmu bahasa adalah bahasa sehari-hari yang sudah diabstraksi, dengan demikian anggukan, dehem, dan semacamnya bukan termasuk objek yang diteliti dalam linguistik. Linguistik modern berasal dari Ferdinand de Saussure, yang membedakan langue, langage, dan parole (Verhaar, 1999:3). Langue adalah salah satu bahasa sebagai suatu sistem, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Langage berarti bahasa sebagai sifat khas manusia, sedangkan parole adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret (dalam bahasa Indonesia ketiga istilah tadi disebut bahasa saja dan mengacu pada konsep yang sama). Sejalan dengan hal di atas, Robins (1992:55) mengatakan bahwa langue merupakan struktur leksikal, gramatikal, dan fonologis sebuah bahasa, dan struktur ini sudah tertanam dalam pikiran penutur asli pada masa kanak-kanak sebagai hasil kolektif masyarakat bahasa yang dibayangkan sebagai suatu kesatuan supraindividual. Dalam menggunakan bahasanya, penutur bisa berbicara di dalam lingkup langue ini; apa yang sebenarnya diucapkannya adalah parole, dan satu-satunya kendali yang dapat dia atur adalah kapan dia harus berbicara dan apa yang harus ia bicarakan. Kaidah leksikal, gramatikal, dan fonologis telah dikuasai dan dipakai, dan kaidah tersebut menentukan ruang lingkup pilihan yang dapat dibuat oleh penutur. Pembedaan ini seperti apa yang dibuat Chomsky, yaitu antara competence (apa yang secara intuisi diketahui penutur tentang bahasanya) dan performance (apa yang dilakukan penutur ketika dia menggunakan bahasanya). Ilmu linguistik sendiri sering disebut linguistik umum, artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja tetapi juga menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Sedangkan linguistik teoretis memuat teori linguistik, yang mencakup sejumlah subbidang, seperti ilmu tentang struktur bahasa (grammar atau tata bahasa) dan makna (semantik). Ilmu tentang tata bahasa meliputi morfologi (pembentukan dan perubahan kata) dan sintaksis (aturan yang menentukan bagaimana kata-kata digabungkan ke dalam frasa atau kalimat). Selain itu dalam bagian ini juga ada fonologi atau ilmu tentang sistem bunyi dan satuan bunyi yang abstrak, dan fonetik, yang berhubungan dengan properti aktual seperti bunyi bahasa atau speech sound (phone) dan bunyi non-speech sound, dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dihasilkan dan didengar (http://en.wikipedia.org/wiki/Linguistics). Menurut Verhaar (1999:9), setiap ilmu pengetahuan biasanya terbagi atas beberapa bidang bawahan, misalnya ada linguistik antropologis atau cara penyelidikan linguistik yang dimanfaatkan ahli antropologi budaya, ada sosiolinguistik untuk meneliti bagaimana dalam bahasa itu dicerminkan hal-hal sosial dalam golongan penutur tertentu. Tetapi bidang-bidang bawahan tersebut mengandaikan adanya pengetahuan linguistik yang mendasari. Bidang yang mendasari itu adalah bidang yang menyangkut struktur dasar tertentu, yaitu struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonetik dan fonologi; struktur kata atau morfologi; struktur antarkata dalam kalimat atau sintaksis; masalah arti atau makna yang bidangnya disebut semantik; hal-hal yang menyangkut siasat komunikasi antarorang dalam parole atau pemakaian bahasa, dan menyangkut juga hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan, atau disebut pragmatik.

Pendekatan SAVI dalam Pembelajaran

PENDEKATAN SAVI DALAM PEMBELAJARAN
Istilah SAVI merupakan singkatan dari Somatic, Auditory, Visual dan Intellectual. Keempat istilah tersebut memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan belajar. Makna dari keempat istilah tersebut sebagaimana diungkapkan Meier yaitu : a) Somatic : belajar dengan bergerak dan berbuat b) Auditory : belajar dengan berbicara dan mendengar c) Visual : belajar dengan mengamati dan menggambarkan d) Intellectual : belajar dengan memecahkan masalah dan merenung. Pendekatan SAVI mengintegrasikan keempat unsur tersebut sedemikian rupa sehingga siswa dan guru dapat secara bersama-sama menghidupkan suasana kelas. Pendekatan SAVI merupakan bagian dari Accelerated Learning atau pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah pembelajaran berlangsung secara cepat dan menyenangkan dan memuaskan. Pemilik konsep dasar ini adalah Dave Meier. Menurut Meier, “pembelajaran dengan Pendekatan SAVI adalah pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intellectual dan penggu-naan semua indera yang dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran”.18 Pendekatan SAVI ini berpengaruh besar dalam pembelajaran karena pendeka-tan SAVI mengintegrasikan keempat unsur yaitu somatic, auditory, visual dan intellectual dalam satu peristiwa pembelajaran. Selain dengan mengintegrasi-
Kan kempat unsur tersebut, pendekatan SAVI juga dapat mengatasi cara dan gaya belajar siswa yang beragam dalam suatu kelas. Hal ini bertujuan agar siswa dapat bersama-sama menyerap pengeta-huan atau materi yang disampaikan oleh guru. Di samping itu, pendekatan SAVI juga menekankan pada unsur intellectual yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah. Dalam penelitian ini, peneliti mengartikan Pendekatan SAVI merupakan pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Dave Meier yang didasarkan bahwa manusia memiliki empat dimensi yaitu : somatic, auditory, visual dan Intellectual dan menekankan adanya penggabungan gerakan fisik dan aktivitas intellectual serta penggunaan semua indra yang dapat berpengaruh besar dalam pembelajaran Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2252580-pengertian-pendekatan-savi/#ixzz1znjpXzRO